Tulisan ini adalah sebuah pencapaian bagi saya. Bukan karena apa-apa, tetapi karena tulisan ini bisa saya selesaikan hingga di titik akhir, sesuatu yang rasanya sudah begitu lama tidak pernah saya lakukan: menyelesaikan sebuah tulisan!
Tulisan ini saya buat dalam rangka mengikuti lomba Hari Statistik Nasional pada 26 September 2017 lalu. Dan berita baiknya tulisan saya ini menjadi pemenang ke-2 dalam lomba tersebut. Tetapi bagi saya berhasil menyelesaikan sebuah tulisan (kembali) adalah sesuatu yang emejing! haha...
Membaca Data dengan Lebih Seksama
Masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya data. Pembangunan tanpa data mungkin bisa saja dilakukan, tetapi kemungkinan besar akan salah arah bahkan salah kaprah. Apabila diibaratkan sebuah pesawat maka data adalah sistem navigasi yang memandu pesawat setiap waktu agar tidak tersesat dan bisa sampai di tujuan dengan selamat. Tanpa sistem navigasi, pesawat bisa saja tetap mengudara namun sangat berbahaya, bisa-bisa pesawat malah tersasar, tidak sampai ke tujuan yang seharusnya. Data adalah panduan, acuan yang sangat penting dalam proses pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan manusianya. Pembangunan memang bisa dilihat secara kasat mata tetapi data seolah-olah tidak terlihat, abstrak. Data hanya berupa angka-angka, seolah-olah tak bermakna. Dan memang bisa jadi tak bermakna apabila tidak diinterpretasikan dengan benar. Karena sesuatu yang dianggap abstrak tadi, data seringkali dipandang sebelah mata, dianggap sesuatu yang boleh jadi tidak harus ada. Padahal dengan mempertimbangkan datalah, pembangunan direncanakan untuk kemudian diimplementasikan. Data tidak turun dari langit. Data diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang kompleks, mulai dari perencanaan, pembuatan kuesioner, pengumpulan data di lapangan, editing coding, tabulasi, analisis hingga tahap diseminasi (penyajian). Data adalah produk yang strategis karena bisa digunakan untuk tujuan tertentu, oleh karena itulah data harus dikelola oleh sebuah institusi yang independen, yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Institusi yang menangani data adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut UU No. 16 tahun 1997 BPS memiliki tugas menyediakan data dasar, sedangkan untuk data sektoral dapat dilakukan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bekerjasama dengan BPS.
Tulisan ini saya buat dalam rangka mengikuti lomba Hari Statistik Nasional pada 26 September 2017 lalu. Dan berita baiknya tulisan saya ini menjadi pemenang ke-2 dalam lomba tersebut. Tetapi bagi saya berhasil menyelesaikan sebuah tulisan (kembali) adalah sesuatu yang emejing! haha...
Membaca Data dengan Lebih Seksama
Masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya data. Pembangunan tanpa data mungkin bisa saja dilakukan, tetapi kemungkinan besar akan salah arah bahkan salah kaprah. Apabila diibaratkan sebuah pesawat maka data adalah sistem navigasi yang memandu pesawat setiap waktu agar tidak tersesat dan bisa sampai di tujuan dengan selamat. Tanpa sistem navigasi, pesawat bisa saja tetap mengudara namun sangat berbahaya, bisa-bisa pesawat malah tersasar, tidak sampai ke tujuan yang seharusnya. Data adalah panduan, acuan yang sangat penting dalam proses pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan manusianya. Pembangunan memang bisa dilihat secara kasat mata tetapi data seolah-olah tidak terlihat, abstrak. Data hanya berupa angka-angka, seolah-olah tak bermakna. Dan memang bisa jadi tak bermakna apabila tidak diinterpretasikan dengan benar. Karena sesuatu yang dianggap abstrak tadi, data seringkali dipandang sebelah mata, dianggap sesuatu yang boleh jadi tidak harus ada. Padahal dengan mempertimbangkan datalah, pembangunan direncanakan untuk kemudian diimplementasikan. Data tidak turun dari langit. Data diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang kompleks, mulai dari perencanaan, pembuatan kuesioner, pengumpulan data di lapangan, editing coding, tabulasi, analisis hingga tahap diseminasi (penyajian). Data adalah produk yang strategis karena bisa digunakan untuk tujuan tertentu, oleh karena itulah data harus dikelola oleh sebuah institusi yang independen, yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Institusi yang menangani data adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut UU No. 16 tahun 1997 BPS memiliki tugas menyediakan data dasar, sedangkan untuk data sektoral dapat dilakukan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bekerjasama dengan BPS.
Dalam perjalanannya, menjadi
institusi yang menghasilkan data memang tidaklah mudah. Katakanlah ketika data
yang dihasilkan sejalan dengan harapan pemimpin, maka data yang dihasilkan BPS
dicurigai. Atau ketika data yang dihasilkan tidak sejalan dengan harapan
pemimpin, data BPS diragukan. Kadang-kadang seperti memakan buah simalakama.
Masyarakatpun masih banyak yang belum memahami secara utuh data BPS, tetapi
segera bereaksi manakala BPS mempublikasikan angka. Seringkali kita memang
mudah sekali menilai sesuatu tanpa mau tahu sesuatu yang kita nilai itu secara
menyeluruh.
Banyak data yang dihasilkan BPS melalui
jalur Survei, artinya data yang dihasilkan bukan dari populasi tetapi dari sampel yang dipilih sedemikian rupa dengan
suatu metode penarikan sampel tertentu. Sementara untuk Sensus yang melibatkan
seluruh populasi hanya dilakukan untuk tiga kegiatan besar, yaitu Sensus Penduduk
(dilakukan pada tahun yang berakhiran angka “0”, terakhir dilakukan tahun
2010), Sensus Pertanian (dilakukan pada tahun yang berakhiran angka “3”,
terakhir dilakukan tahun 2013) dan Sensus Ekonomi (dilakukan pada tahun yang
berakhiran angka “6”, terakhir dilakukan tahun 2016). Alasan mengapa banyak
data lain tidak diperoleh melalui Sensus adalah karena terbatasnya sumber daya
yaitu tenaga pencacah dan dana yang tersedia. Data yang dihasilkan dari Survei
berupa Statistik. Statistik adalah penduga parameter (hasil Sensus). Sebagai
penduga, Statistik akan mendekati nilai parameter. Sebagai pendekatan,
Statistik bukanlah sebuah kebenaran tanpa kesalahan. Kesalahan dalam Survei
selalu ada tetapi statistik yang baik adalah statistik yang tingkat kesalahannya
masih bisa ditoleransi sesuai dengan kaidah-kaidah statistik yang bisa
dipertanggungjawabkan, sehingga statistik itu layak digunakan.
Pada dasarnya, ilmu manusia tidak
akan pernah bisa merepresentasikan kenyataan dalam bentuk angka dengan
sempurna. Bahkan Sensus yang melibatkan seluruh populasipun tidak terlepas dari
kesalahan yang disebut non sampling error,
yaitu kesalahan yang terjadi diluar penarikan sampel. Kesalahan ini biasanya
berupa human error, seperti kesalahan
petugas di lapangan atau kesalahan pada saat menginput data ke komputer. Tetapi
terlepas dari semua kesalahan yang memang selalu kita temui dalam segala aspek
kehidupan, Statistik selalu berusaha mendekati kenyataan yang ada. Selalu
berusaha menyajikan data apa adanya, tanpa rekayasa, tanpa tendensi apa-apa.
Jika kita berbicara data, maka banyak
hal yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Kita harus memahami konsep dan
definisi yang digunakan. Konsep dan definisi yang digunakan BPS juga tidaklah
sembarangan, tetapi menggunakan rujukan yang sudah digunakan secara
internasional, yang salah satu kegunaannya adalah untuk melihat
keterbandingan antarnegara. Seperti
ketika BPS mengeluarkan angka kemiskinan, maka kita harus tahu konsep
kemiskinan terlebih dahulu, yaitu mengacu pada pengeluaran untuk makanan dan
non makanan. Untuk makanan menggunakan pendekatan kalori, yaitu dikatakan
miskin apabila konsumsi makanan kurang dari 2.100 kilokalori per hari per
orang. Atau ketika BPS merilis angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kita
juga harus tahu dimensi-dimensi yang digunakan dalam penghitungan IPM, yaitu
Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-Rata Lama Sekolah
(RLS) dan Pengeluaran Per Kapita (PPP). Angka IPM Sumatera Selatan pada tahun
2017 sebesar 68,24. Dan jika dilihat pertumbuhannya adalah sebesar 1,16 persen.
Sementara pertumbuhan tahun sebelumnya (2015) adalah sebesar 1,06 persen. Itu
artinya angka IPM mengalami pertumbuhan dan itu sebuah pencapaian yang lebih
baik dari periode lalu.
Perbedaan data yang dikeluarkan BPS
dengan instansi lain seringkali menjadi sorotan. Sebagai contoh data
kependudukan yang dikeluarkan BPS selalu tidak sejalan dengan data kependudukan
yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Seperti
yang telah diulas sebelumnya, kita harus memahami konsep dan definisi yang
digunakan oleh BPS maupun Disdukcapil. Dalam menghitung jumlah penduduk, BPS
menggunakan konsep “penduduk” adalah orang yang telah menetap di suatu wilayah
selama 6 bulan atau lebih, atau kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap, tak
perduli apakah orang tersebut memiliki KTP atau tidak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kondisi real saat itu. Sementara Disdukcapil
menghitung jumlah penduduk berdasarkan kepemilikan KTP. Bagaimana mungkin hasil
penghitungan penduduk antara BPS dan Disdukcapil akan menghasilkan nilai yang
sama sementara konsep dan definisi yang digunakan saja berbeda?
Dalam pemaknaan data BPS, kita juga
seringkali menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur. Sebagai contoh, belum
lama ini BPS mengeluarkan data garis kemiskinan sebesar sekitar 300
ribu rupiah per kapita
per bulan. Dan
publik langsung bergejolak. Berbagai opini negatifpun membanjiri media sosial. “Pengeluaran
11 ribu rupiah sehari dikatakan tidak miskin”, begitu kurang lebih judul yang
sempat menjadi viral. Kita sebagai orang yang hidup di kota dengan penghasilan lumayan mungkin
tak habis pikir bagaimana bisa pengeluaran di atas 11 ribu rupiah, katakanlah 12 ribu rupiah dikatakan tidak
miskin? Kita menjadikan diri kita sendiri sebagai tolok ukur, padahal data BPS
adalah nilai rata-rata.
Senada dengan garis kemiskinan
nasional, garis kemiskinan Sumatera Selatan berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017
adalah sekitar 370.060 per kapita per bulan. Dari data Susenas juga didapatkan bahwa rata-rata anggota
rumah tangga (ART) miskin adalah 4,5 orang. Artinya dalam suatu rumah tangga terdapat
ART sebanyak 4 sampai 5 orang, sehingga rumah tangga tadi memiliki pengeluaran
sebesar 370.060
dikalikan 4,5, hasilnya adalah sekitar 1,6 juta rupiah per bulan. Rasanya tak berlebihan jika pengeluaran
di atas 1,6 juta rupiah cukup untuk menghidupi sebuah rumah tangga, termasuk memenuhi kebutuhan
kalori sebesar 2.100 kilokalori untuk setiap ART setiap harinya. Dan rumah
tangga ini tergolong tidak miskin, tetapi kita jangan lupa bahwa rumah tangga
ini tetap tergolong rentan miskin.
Selain data kemiskinan, data yang
seringkali menjadi sorotan adalah data pertumbuhan ekonomi yang didapatkan dari
Produk Domestik Bruto (PDB) untuk level nasional atau Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) untuk level daerah. Angka ini merupakan angka yang strategis
karena merefleksikan kemajuan suatu daerah. Tetapi seringkali masyarakat
terjebak dengan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun kemiskinan yang
juga tinggi. Hal ini sering dianggap sebagai paradoks dalam ekonomi suatu
wilayah. Padahal angka pertumbuhan ekonomi memang tidak serta merta
mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Pertumbuhan
ekonomi secara umum diartikan sebagai peningkatan nilai barang dan jasa yang
diproduksi di suatu wilayah. Itu artinya pertumbuhan ekonomi menunjukkan
pertumbuhan yang terjadi di wilayah tersebut tanpa melihat sejauh mana dampak
yang diberikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Nilai PDRB Provinsi
Sumatera Selatan pada tahun 2016 sebesar 355,42 Triliun. Pertumbuhan yang
berhasil dicapai adalah sebesar 5,03 persen (sementara angka nasional adalah
sebesar 5,02 persen). Pertumbuhan yang bernilai positif mengindikasikan terjadi
peningkatan barang dan jasa yang diproduksi di Sumatera Selatan. Artinya
perekonomian semakin meningkat, pembangunan semakin giat.
Apabila keberhasilan dalam
perekonomian disandingkan dengan angka kemiskinan Maret 2016 yang sebesar 13,54
persen (sementara angka nasional 10,86 persen), kita akan mendapati bahwa
kemiskinan di Sumatera Selatan masih relatif tinggi. Untuk melihat sejauh mana
peningkatan dalam perekonomian mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Sumatera
Selatan, bisa kita lihat dari berbagai aspek lain, salah satunya adalah nilai
rasio gini. Rasio gini adalah suatu koefisien yang menunjukkan ukuran
pemerataan pendapatan penduduk di suatu wilayah yang nilainya berada dalam
rentang 0-1. Semakin mendekati angka 1 menunjukkan tingkat ketimpangan yang
semakin besar. Rasio gini Sumatera Selatan pada tahun 2016 sebesar 0,348 dan
angka ini apabila dibandingkan dengan angka rasio gini provinsi-provinsi di
Pulau Sumatera berada di posisi tengah. Artinya pemerataan pendapatan di
Sumatera Selatan memang belum bisa dikatakan baik. Tetapi harapan bahwa angka
pertumbuhan ekonomi memiliki dampak terhadap kesejahteraan masyarakatnya adalah
harapan yang mulia, artinya adalah sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja
besar harus semakin diperhatikan dan diberdayakan, sehingga nilai tambah pada
sektor-sektor ini dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Seperti
halnya di Sumatera Selatan dimana persentase pekerja terbanyak masih berada
pada sektor pertanian, yaitu perkebunan karet, maka peran serta pemerintah
untuk menjaga kestabilan harga karet melalui usaha untuk menjaga kualitas karet
yang dihasilkan adalah harapan masyarakat Sumatera Selatan.
Membaca data bukanlah seperti membaca
novel. Membaca data harus dilakukan dengan seksama, dengan berusaha memahami
pula apa-apa yang melekat pada data tersebut. Peringatan Hari Statistik yang jatuh pada
tanggal 26 September semoga dapat menjadi momentum bagi kita insan statistik
untuk semakin mengedukasi masyarakat dengan data. Pembangunan adalah tanggung
jawab kita bersama sesuai dengan peran masing-masing. Kita harus bekerja
bersama-sama agar dapat mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati bersama pula,
sesuai dengan tema Hari Statistik Nasional 2017 “Kerja Bersama dengan Data.”
Semoga BPS dapat merangkul banyak pihak untuk mendukung BPS dalam menyediakan
data yang semakin berkualitas sehingga pembangunan akan semakin tepat sasaran
dan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar