Senin, 30 Oktober 2017

Membaca Data dengan Lebih Seksama


Tulisan ini adalah sebuah pencapaian bagi saya. Bukan karena apa-apa, tetapi karena tulisan ini bisa saya selesaikan hingga di titik akhir, sesuatu yang rasanya sudah begitu lama tidak pernah saya lakukan: menyelesaikan sebuah tulisan!

Tulisan ini saya buat dalam rangka mengikuti lomba Hari Statistik Nasional pada 26 September 2017 lalu. Dan berita baiknya tulisan saya ini menjadi pemenang ke-2 dalam lomba tersebut. Tetapi bagi saya berhasil menyelesaikan sebuah tulisan (kembali) adalah sesuatu yang emejing! haha...

 Membaca Data dengan Lebih Seksama

 Masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya data. Pembangunan tanpa data mungkin bisa saja dilakukan, tetapi kemungkinan besar akan salah arah bahkan salah kaprah. Apabila diibaratkan sebuah pesawat maka data adalah sistem navigasi yang memandu pesawat setiap waktu agar tidak tersesat dan bisa sampai di tujuan dengan selamat. Tanpa sistem navigasi, pesawat bisa saja tetap mengudara namun sangat berbahaya, bisa-bisa pesawat malah tersasar, tidak sampai ke tujuan yang seharusnya. Data adalah panduan, acuan yang sangat penting dalam proses pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan manusianya. Pembangunan memang bisa dilihat secara kasat mata tetapi data seolah-olah tidak terlihat, abstrak. Data hanya berupa angka-angka, seolah-olah tak bermakna. Dan memang bisa jadi tak bermakna apabila tidak diinterpretasikan dengan benar. Karena sesuatu yang dianggap abstrak tadi, data seringkali dipandang sebelah mata, dianggap sesuatu yang boleh jadi tidak harus ada.  Padahal dengan mempertimbangkan datalah, pembangunan direncanakan untuk kemudian diimplementasikan. Data tidak turun dari langit. Data diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang kompleks, mulai dari perencanaan, pembuatan kuesioner, pengumpulan data di lapangan, editing coding, tabulasi, analisis hingga tahap diseminasi (penyajian). Data adalah produk yang strategis karena bisa digunakan untuk tujuan tertentu, oleh karena itulah data harus dikelola oleh sebuah institusi yang independen, yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Institusi yang menangani data adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut UU No. 16 tahun 1997 BPS memiliki tugas menyediakan data dasar, sedangkan untuk data sektoral dapat dilakukan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bekerjasama dengan BPS.
 
Dalam perjalanannya, menjadi institusi yang menghasilkan data memang tidaklah mudah. Katakanlah ketika data yang dihasilkan sejalan dengan harapan pemimpin, maka data yang dihasilkan BPS dicurigai. Atau ketika data yang dihasilkan tidak sejalan dengan harapan pemimpin, data BPS diragukan. Kadang-kadang seperti memakan buah simalakama. Masyarakatpun masih banyak yang belum memahami secara utuh data BPS, tetapi segera bereaksi manakala BPS mempublikasikan angka. Seringkali kita memang mudah sekali menilai sesuatu tanpa mau tahu sesuatu yang kita nilai itu secara menyeluruh. 

Banyak data yang dihasilkan BPS melalui jalur Survei, artinya data yang dihasilkan bukan dari populasi tetapi dari  sampel yang dipilih sedemikian rupa dengan suatu metode penarikan sampel tertentu. Sementara untuk Sensus yang melibatkan seluruh populasi hanya dilakukan untuk tiga kegiatan besar, yaitu Sensus Penduduk (dilakukan pada tahun yang berakhiran angka “0”, terakhir dilakukan tahun 2010), Sensus Pertanian (dilakukan pada tahun yang berakhiran angka “3”, terakhir dilakukan tahun 2013) dan Sensus Ekonomi (dilakukan pada tahun yang berakhiran angka “6”, terakhir dilakukan tahun 2016). Alasan mengapa banyak data lain tidak diperoleh melalui Sensus adalah karena terbatasnya sumber daya yaitu tenaga pencacah dan dana yang tersedia. Data yang dihasilkan dari Survei berupa Statistik. Statistik adalah penduga parameter (hasil Sensus). Sebagai penduga, Statistik akan mendekati nilai parameter. Sebagai pendekatan, Statistik bukanlah sebuah kebenaran tanpa kesalahan. Kesalahan dalam Survei selalu ada tetapi statistik yang baik adalah statistik yang tingkat kesalahannya masih bisa ditoleransi sesuai dengan kaidah-kaidah statistik yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga statistik itu layak digunakan. 

Pada dasarnya, ilmu manusia tidak akan pernah bisa merepresentasikan kenyataan dalam bentuk angka dengan sempurna. Bahkan Sensus yang melibatkan seluruh populasipun tidak terlepas dari kesalahan yang disebut non sampling error, yaitu kesalahan yang terjadi diluar penarikan sampel. Kesalahan ini biasanya berupa human error, seperti kesalahan petugas di lapangan atau kesalahan pada saat menginput data ke komputer. Tetapi terlepas dari semua kesalahan yang memang selalu kita temui dalam segala aspek kehidupan, Statistik selalu berusaha mendekati kenyataan yang ada. Selalu berusaha menyajikan data apa adanya, tanpa rekayasa, tanpa tendensi apa-apa. 

Jika kita berbicara data, maka banyak hal yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Kita harus memahami konsep dan definisi yang digunakan. Konsep dan definisi yang digunakan BPS juga tidaklah sembarangan, tetapi menggunakan rujukan yang sudah digunakan secara internasional, yang salah satu kegunaannya adalah untuk melihat keterbandingan antarnegara.  Seperti ketika BPS mengeluarkan angka kemiskinan, maka kita harus tahu konsep kemiskinan terlebih dahulu, yaitu mengacu pada pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Untuk makanan menggunakan pendekatan kalori, yaitu dikatakan miskin apabila konsumsi makanan kurang dari 2.100 kilokalori per hari per orang. Atau ketika BPS merilis angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kita juga harus tahu dimensi-dimensi yang digunakan dalam penghitungan IPM, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Pengeluaran Per Kapita (PPP). Angka IPM Sumatera Selatan pada tahun 2017 sebesar 68,24. Dan jika dilihat pertumbuhannya adalah sebesar 1,16 persen. Sementara pertumbuhan tahun sebelumnya (2015) adalah sebesar 1,06 persen. Itu artinya angka IPM mengalami pertumbuhan dan itu sebuah pencapaian yang lebih baik dari periode lalu. 

Perbedaan data yang dikeluarkan BPS dengan instansi lain seringkali menjadi sorotan. Sebagai contoh data kependudukan yang dikeluarkan BPS selalu tidak sejalan dengan data kependudukan yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Seperti yang telah diulas sebelumnya, kita harus memahami konsep dan definisi yang digunakan oleh BPS maupun Disdukcapil. Dalam menghitung jumlah penduduk, BPS menggunakan konsep “penduduk” adalah orang yang telah menetap di suatu wilayah selama 6 bulan atau lebih, atau kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap, tak perduli apakah orang tersebut memiliki KTP atau tidak.  Tujuannya adalah untuk mendapatkan kondisi real saat itu. Sementara Disdukcapil menghitung jumlah penduduk berdasarkan kepemilikan KTP. Bagaimana mungkin hasil penghitungan penduduk antara BPS dan Disdukcapil akan menghasilkan nilai yang sama sementara konsep dan definisi yang digunakan saja berbeda?

Dalam pemaknaan data BPS, kita juga seringkali menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur. Sebagai contoh, belum lama ini BPS mengeluarkan data garis kemiskinan sebesar sekitar 300 ribu rupiah per kapita per bulan. Dan publik langsung bergejolak. Berbagai opini negatifpun membanjiri media sosial. “Pengeluaran 11 ribu rupiah sehari dikatakan tidak miskin”, begitu kurang lebih judul yang sempat menjadi viral. Kita sebagai orang yang hidup di kota dengan penghasilan lumayan mungkin tak habis pikir bagaimana bisa pengeluaran di atas 11 ribu rupiah, katakanlah 12 ribu rupiah dikatakan tidak miskin? Kita menjadikan diri kita sendiri sebagai tolok ukur, padahal data BPS adalah nilai rata-rata. 

Senada dengan garis kemiskinan nasional, garis kemiskinan Sumatera Selatan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi  Nasional (Susenas) Maret 2017 adalah sekitar 370.060 per kapita per bulan. Dari data Susenas juga didapatkan bahwa rata-rata anggota rumah tangga (ART) miskin adalah 4,5 orang. Artinya dalam suatu rumah tangga terdapat ART sebanyak 4 sampai 5 orang, sehingga rumah tangga tadi memiliki pengeluaran sebesar 370.060 dikalikan 4,5, hasilnya adalah sekitar 1,6 juta rupiah per bulan. Rasanya tak berlebihan jika pengeluaran di atas 1,6 juta rupiah cukup untuk menghidupi sebuah rumah tangga, termasuk memenuhi kebutuhan kalori sebesar 2.100 kilokalori untuk setiap ART setiap harinya. Dan rumah tangga ini tergolong tidak miskin, tetapi kita jangan lupa bahwa rumah tangga ini tetap tergolong rentan miskin.
 
Selain data kemiskinan, data yang seringkali menjadi sorotan adalah data pertumbuhan ekonomi yang didapatkan dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk level nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk level daerah. Angka ini merupakan angka yang strategis karena merefleksikan kemajuan suatu daerah. Tetapi seringkali masyarakat terjebak dengan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun kemiskinan yang juga tinggi. Hal ini sering dianggap sebagai paradoks dalam ekonomi suatu wilayah. Padahal angka pertumbuhan ekonomi memang tidak serta merta mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi secara umum diartikan sebagai peningkatan nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah. Itu artinya pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan yang terjadi di wilayah tersebut tanpa melihat sejauh mana dampak yang diberikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Nilai PDRB Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2016 sebesar 355,42 Triliun. Pertumbuhan yang berhasil dicapai adalah sebesar 5,03 persen (sementara angka nasional adalah sebesar 5,02 persen). Pertumbuhan yang bernilai positif mengindikasikan terjadi peningkatan barang dan jasa yang diproduksi di Sumatera Selatan. Artinya perekonomian semakin meningkat, pembangunan semakin giat. 

Apabila keberhasilan dalam perekonomian disandingkan dengan angka kemiskinan Maret 2016 yang sebesar 13,54 persen (sementara angka nasional 10,86 persen), kita akan mendapati bahwa kemiskinan di Sumatera Selatan masih relatif tinggi. Untuk melihat sejauh mana peningkatan dalam perekonomian mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan, bisa kita lihat dari berbagai aspek lain, salah satunya adalah nilai rasio gini. Rasio gini adalah suatu koefisien yang menunjukkan ukuran pemerataan pendapatan penduduk di suatu wilayah yang nilainya berada dalam rentang 0-1. Semakin mendekati angka 1 menunjukkan tingkat ketimpangan yang semakin besar. Rasio gini Sumatera Selatan pada tahun 2016 sebesar 0,348 dan angka ini apabila dibandingkan dengan angka rasio gini provinsi-provinsi di Pulau Sumatera berada di posisi tengah. Artinya pemerataan pendapatan di Sumatera Selatan memang belum bisa dikatakan baik. Tetapi harapan bahwa angka pertumbuhan ekonomi memiliki dampak terhadap kesejahteraan masyarakatnya adalah harapan yang mulia, artinya adalah sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja besar harus semakin diperhatikan dan diberdayakan, sehingga nilai tambah pada sektor-sektor ini dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Seperti halnya di Sumatera Selatan dimana persentase pekerja terbanyak masih berada pada sektor pertanian, yaitu perkebunan karet, maka peran serta pemerintah untuk menjaga kestabilan harga karet melalui usaha untuk menjaga kualitas karet yang dihasilkan adalah harapan masyarakat Sumatera Selatan. 

Membaca data bukanlah seperti membaca novel. Membaca data harus dilakukan dengan seksama, dengan berusaha memahami pula apa-apa yang melekat pada data tersebut.  Peringatan Hari Statistik yang jatuh pada tanggal 26 September semoga dapat menjadi momentum bagi kita insan statistik untuk semakin mengedukasi masyarakat dengan data. Pembangunan adalah tanggung jawab kita bersama sesuai dengan peran masing-masing. Kita harus bekerja bersama-sama agar dapat mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati bersama pula, sesuai dengan tema Hari Statistik Nasional 2017 “Kerja Bersama dengan Data.” Semoga BPS dapat merangkul banyak pihak untuk mendukung BPS dalam menyediakan data yang semakin berkualitas sehingga pembangunan akan semakin tepat sasaran dan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.



.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar