Pada mulanya, pendapatan
per kapita dianggap sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Peningkatan
pendapatan per kapita menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang baik yang
direfleksikan oleh meningkatnya output yang tercipta dalam sebuah perekonomian.
Hampir semua negara di dunia berlomba-lomba untuk meraih pendapatan per kapita
yang tinggi sebagai tanda kemajuan dan pembangunan yang kian menggeliat. Namun
kemudian kenyataan yang ditemui adalah adanya paradoks bahwa pendapatan per
kapita yang tinggi tidak diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan dan
pengangguran. Angka pendapatan per kapita yang tinggi seringkali diikuti dengan
kesenjangan pendapatan yang tinggi pula, sehingga hasil pembangunan hanya
dinikmati oleh sedikit orang.
Pertumbuhan ekonomi pada hakikatnya memang tidaklah mampu menggambarkan kesejahteraan masyarakat secara langsung. Pertumbuhan ekonomi berarti ekonomi yang “tumbuh”, dan tumbuh berarti sesuatu yang semakin besar dan terus berkembang. Fokus dalam pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan ekonomi suatu wilayah yang semakin besar dan terus akan semakin besar. Tetapi yang terlupa adalah bahwa kondisi ekonomi tidak secara langsung mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Pertumbuhan ekonomi secara umum adalah peningkatan produksi barang dan jasa, sehingga output yang tercipta akan semakin meningkat pula. Hal ini dapat ditandai dengan semakin banyaknya usaha atau perusahaan yang berdiri di suatu wilayah, atau beralihnya usaha pertanian konvensional menjadi industri agro bisnis yang lebih modern, sehingga nilai tambah yang tercipta semakin tinggi. Tetapi selanjutnya muncul pertanyaan, apakah peningkatan nilai tambah yang tercipta itu dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat setempat? Atau jangan-jangan peningkatan tersebut justru dinikmati oleh masyarakat yang tidak tinggal di wilayah tersebut? Lalu pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah , apakah suatu sektor yang memiliki nilai tambah besar merupakan sektor yang padat karya? Jangan-jangan sektor yang menciptakan nilai tambah dan pertumbuhan yang tinggi adalah sektor yang hanya memiliki sedikit sekali tenaga kerja? Sebaliknya, sektor dengan pertumbuhan yang terus turun merupakan sektor yang menjadi tumpuan hidup masyarakat di wilayah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini memang perlu dipertanyakan terkait paradoks yang tejadi, yaitu suatu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi namun justru tingkat pengangguran dan kemiskinannya juga tinggi. Tentu ini menjadi sebuah tanda tanya dan indikasi kurang tepatnya pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Pendapatan per kapita tidak secara langsung “menyentuh” manusianya. Pertumbuhan ekonomi lebih terpusat pada pembangunan fisik ketimbang pembangunan manusia. Padahal sejatinya pembangunan manusia jauh lebih penting daripada pembangunan fisik semata sebab manusia adalah aset besar dalam pembangunan tetapi dengan syarat manusia tersebut memiliki kualitas yang unggul. Sebaliknya manusia bisa menjadi beban dalam pembangunan apabila manusia tersebut memiliki kualitas yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi pada hakikatnya memang tidaklah mampu menggambarkan kesejahteraan masyarakat secara langsung. Pertumbuhan ekonomi berarti ekonomi yang “tumbuh”, dan tumbuh berarti sesuatu yang semakin besar dan terus berkembang. Fokus dalam pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan ekonomi suatu wilayah yang semakin besar dan terus akan semakin besar. Tetapi yang terlupa adalah bahwa kondisi ekonomi tidak secara langsung mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Pertumbuhan ekonomi secara umum adalah peningkatan produksi barang dan jasa, sehingga output yang tercipta akan semakin meningkat pula. Hal ini dapat ditandai dengan semakin banyaknya usaha atau perusahaan yang berdiri di suatu wilayah, atau beralihnya usaha pertanian konvensional menjadi industri agro bisnis yang lebih modern, sehingga nilai tambah yang tercipta semakin tinggi. Tetapi selanjutnya muncul pertanyaan, apakah peningkatan nilai tambah yang tercipta itu dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat setempat? Atau jangan-jangan peningkatan tersebut justru dinikmati oleh masyarakat yang tidak tinggal di wilayah tersebut? Lalu pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah , apakah suatu sektor yang memiliki nilai tambah besar merupakan sektor yang padat karya? Jangan-jangan sektor yang menciptakan nilai tambah dan pertumbuhan yang tinggi adalah sektor yang hanya memiliki sedikit sekali tenaga kerja? Sebaliknya, sektor dengan pertumbuhan yang terus turun merupakan sektor yang menjadi tumpuan hidup masyarakat di wilayah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini memang perlu dipertanyakan terkait paradoks yang tejadi, yaitu suatu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi namun justru tingkat pengangguran dan kemiskinannya juga tinggi. Tentu ini menjadi sebuah tanda tanya dan indikasi kurang tepatnya pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Pendapatan per kapita tidak secara langsung “menyentuh” manusianya. Pertumbuhan ekonomi lebih terpusat pada pembangunan fisik ketimbang pembangunan manusia. Padahal sejatinya pembangunan manusia jauh lebih penting daripada pembangunan fisik semata sebab manusia adalah aset besar dalam pembangunan tetapi dengan syarat manusia tersebut memiliki kualitas yang unggul. Sebaliknya manusia bisa menjadi beban dalam pembangunan apabila manusia tersebut memiliki kualitas yang rendah.
Indeks Pembangunan Manusia
Menilik
kekurangan pendapatan per kapita yang tidak mampu menjadi ukuran kesejahteraan
masyarakat, pada tahun 1990 United
Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Berbeda halnya dengan
pertumbuhan ekonomi, IPM merupakan pengukuran yang langsung mengukur manusia melalui
tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan dan standar hidup
yang layak. Pembangunan Manusia memiliki makna bahwa manusia memiliki kebebasan
untuk mendapatkan akses dalam hal kesehatan, pendidikan dan penghidupan yang
baik: manusia memiliki lebih banyak pilihan dan kesempatan. Dan bahwa
kebebasan, pilihan dan kesempatan itu sama untuk setiap manusia. IPM langsung
“menyentuh” pada manusia sebagai subjek dalam pembangunan, sehingga IPM dapat
menjadi cerminan kondisi sosial ekonomi masyarakat di suatu wilayah.
Setiap tahunnya,
UNDP mengumumkan peringkat IPM negara-negara di dunia. Tujuannya adalah untuk
mengelompokkan negara berdasarkan kualitas manusianya, sehingga program-program
pembangunan akan lebih tepat sasaran. Pada tahun 2015, Indonesia menduduki
peringkat ke-113 dari 188 negara di dunia dengan IPM sebesar 0,528 dan
tergolong medium human development.
Angka ini belum bisa dikatakan baik, artinya masih banyak manusia di Indonesia
yang belum memiliki akses untuk memperoleh kesehatan, pendidikan dan
penghidupan yang layak. Sekaligus juga mencerminkan adanya kesenjangan yang
cukup besar antar masyarakat di Indonesia dalam mendapatkan akses tersebut.
Peringkat pertama IPM diraih oleh Norwegia. Norwegia adalah sebuah negara
dengan jumlah penduduk hanya sebanyak 5 juta jiwa. Berbeda dengan negara kita
yang dihuni sekitar 230 juta jiwa, sehingga tantangan pembangunan yang dihadapi
juga lebih berat. Bonus demografi ini memang bisa jadi aset yang berharga ketika manusia di dalamnya adalah manusia-manusia yang produktif, tetapi bisa jadi bencana apabila yang terjadi adalah sebaliknya.
Saat ini, pemerintah Indonesia maupun dunia semakin menaruh perhatian besar pada IPM, bukan hanya semata-mata untuk meraih peringkat yang mumpuni tetapi lebih kepada adanya sebuah pandangan dan keinginan untuk menjadikan manusia sebagai tujuan akhir dari sebuah proses. Manusia adalah hadiah yang diberikan Tuhan kepada alam semesta. Manusia diciptakan dalam kondisi yang sama dan setara. Manusia berhak mendapatkan sesuatu yang sama pula. Dan Pembangunan Manusia berusaha mewujudkan kemanusiaan yang lebih manusiawi, memusnahkan penderitaan dan menjadikan setiap manusia memiliki keseteraan untuk menikmati apa yang telah Tuhan anugerahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar