Rabu, 02 Desember 2015

Tentang Sebuah Pencapaian

gambar dicomot dari sini

Dulu ketika aku berhasil menyelesaikan kuliah D-4 di Perguruan Tinggi Kedinasan yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), selain bahagia, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu itu berupa ketidakpuasan terhadap diri sendiri karena aku merasa belum melakukan pencapaian yang optimal. Pencapaian yang kumaksud bukan diukur berdasarkan angka yang tertera pada IPK, kalau hanya sekedar angka Alhamdulillah prestasiku tergolong baik, masuk peringkat 10 besar di Jurusan Ekonomi. Tetapi pencapaian yang kumaksud lebih kepada proses yang kuusahakan bukan hasilnya. Aku merasa sering sekali menyepelekan tugas termasuk tugas akhir (skripsi). Aku merasa membuat tugas betul-betul asal jadi saja, toh saat itu aku berpikir bahwa nilai yang diberikan untuk tugas minimal B (mungkin upah capek kali ya), jadi akupun tidak berambisi untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dari itu. Bagiku lebih baik santai tapi dapat B, daripada grabak-grubuk untuk dapat A. Berhubung di kampusku dulu, nyaris semua mata kuliah lebih dinilai dari ujian bukan tugas, maka kemalasanku dalam menggarap tugas tidak begitu berdampak terhadap prestasiku.

Di kampusku STIS, kuliah memang cukup “menyeramkan”, barangkali karena kami kuliah secara gratis, dibiayai oleh uang negara (uang rakyat), jadi rasanya kamipun ditekan untuk kuliah seserius mungkin. Parameter keseriusan itu adalah nilai. Maka mahasiswa-mahasiswa yang nilainya di bawah standar yang telah ditentukanpun terpaksa didepak. Tinggal kelas atau Drop Out (DO). Ketentuan DO ini biasanya untuk mahasiswa tingkat 1 atau mahasiswa yang tinggal kelas untuk kedua kalinya. Dan peraturan ini memang betul-betul diterapkan. Dalam satu angkatan, belasan atau bahkan mencapai puluhan orang harus “gugur” karena seleksi alam ini. Bahkan ada yang harus “gugur” padahal telah menempuh pendidikan selama 5 tahun (seharusnya 4 tahun). Sadis. Ya, memang sadis ketika parameter yang digunakan hanya pada sesuatu yang terukur secara mutlak.

Aku berani menjamin bahwa tidak setiap mahasiswa yang di DO itu memiliki kemampuan akademis di bawah rata-rata. Bahkan aku mengenal beberapa mahasiswa yang “gugur” itu sebagai mahasiswa yang cerdas, tekun dan selalu menaati peraturan. Hanya saja tidak setiap kecerdasan bisa dibuktikan dengan ujian. Memang sebuah paradoks dan nyata adanya, banyak orang pintar tetapi selalu mendapat nilai jeblok, selalu masuk dalam daftar remedial. Sebab duduk di kursi untuk mengikuti ujian, tidak hanya membutuhkan kesiapan akan bahan yang dujikan, tetapi juga membutuhkan kesiapan fisik dan yang lebih utama kesiapan mental. Tidak semua orang merasa “siap” dalam arti yang sesungguhnya ketika berhadapan dengan ujian, maka orang-orang semacam ini cenderung gagal meski sebenarnya sudah sangat menguasai bahan yang diajarkan.

Dengan sistem ujian yang serupa terror inilah membuat mahasiswa-mahasiswa ketakutan menjelang dan saat berlangsungnya ujian. Termasuk pula aku. Menjelang berangkat dari kost menuju kampus, di musim-musim ujian, aku sering mendadak sakit perut, hehe. Maka yang terpikir di benakku ketika kuliah, hanyalah bagaimana caranya untuk mencapai garis finish. Maka masalah tugas-tugas dengan jaminan nilai terendah B, hampir selalu kuabaikan. Aku lebih berfokus pada sesuatu yang dinilai secara mutlak, tanpa toleransi, artinya ketika soal ujian berjumlah 10 soal, maka ketika kau menjawab benar hanya 4 soal saja, nilaimu adalah 4 atau 40. Tidak bisa ditambah atau dikurangi!

Selain tujuanku untuk memperoleh nilai yang bagus –karena itulah syarat untuk tetap survive- motivasi lain yang membuat aku bersemangat untuk belajar adalah keinginan untuk dapat menakhlukkan mata kuliah itu, untuk dapat memahaminya. Ketika aku paham suatu mata kuliah, bagiku itu sebuah pencapaian. Meskipun nilai yang kuperoleh tidak setinggi yang kuharapkan.

Setelah mencapai garis finish di STIS, seperti yang telah kukatakan aku justru merasa kalah. Kalah melawan diriku sendiri. Kalah dalam memberdayakan kemampuanku sendiri. Dan aku merasa membutuhkan kesempatan kedua untuk membayar kekalahan itu.

Itulah salah satu hal yang membuat aku memang berkeinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Magister atau S2. Aku merasa harus bisa menakhlukkan diriku sendiri. Dan kenyataannya, aku justru jauh lebih buruk ketika menjalani pendidikan magister ini, kelihatannya kemalasanku dalam hal menggarap tugas memang sulit sekali kutakhlukkan, meskipun kalau mau diukur dengan IPK, prestasiku termasuk baik, hanya kurang 0,4 saja untuk bisa mendapatkan predikat cum laude. Tetapi bukan angka, bukan IPK, bukan predikat yang menjadi kepuasanku. Kepuasanku adalah ketika aku sudah melakukan upaya yang paling optimal sekalipun hasil akhir yang kuperoleh biasa-biasa saja. Tapi justru itulah puncak kepuasanku. Dan tak ada perasaan “kalah” di dalam hatiku. Itulah puncak kepuasan yang sebenarnya menurutku. Dan dalam hal pendidikan, aku merasa belum puas! Jadi mau ambil S3 ceritanya nih? Hahaha.

Dalam hal pekerjaan kantor, aku merasa puas ketika mampu bekerja dengan sungguh-sungguh, meskipun hanya perkerjaan yang terkesan sepele. Misalnya memeriksa dokumen. Tak seorangpun yang akan tahu apakah dokumen itu diperiksa dengan sungguh-sungguh, diperiksa sekilas saja atau bahkan tidak diperiksa sama sekali. Dan kalaupun ada orang yang tahu, mereka juga tidak menganggap itu sesuatu yang penting. Tetapi aku akan merasa puas dan menganggap itu sebagai pencapaian. Sesederhana itu sebuah pencapaian di mataku. Bukan terletak pada besar atau kecilnya pekerjaan, tetapi pada besar atau kecilnya upaya yang kita lakukan.

Bagiku, setiap orang memiliki pencapaian yang berbeda-beda dalam hidupnya. Seorang pedagang misalnya, menganggap pencapaian yang ia lakukan, bukan ketika ia mampu menjual barang sebanyak mungkin, tetapi ketika ia mulai berdagang sepagi mungkin, menggelar dagangan serapi mungkin dan mempromosikan barang dagangannya sebaik mungkin, mungkin itulah pencapaian dalam hidupnya. Atau seorang tukang becak menganggap pencapaian yang ia lakukan bukan ketika ia memperoleh penumpang sebanyak mungkin, tetapi ketika ia bekerja sepagi mungkin, menawarkan tumpangan sesering mungkin dan mengantarkan penumpang dengan selamat sampai ke tujuan, mungkin itulah pencapaian menurutnya. Atau seorang ibu rumah tangga, yang menganggap telah melakukan pencapaian ketika ia mampu mengurus rumah sebaik mungkin, melayani suami dengan cekatan, mendidik anak-anak dengan sepenuh perjuangan.

Pencapaian bukan hanya milik orang-orang yang profesinya bagus dengan penghasilan tinggi, bukan hanya milik orang-orang berdasi, bukan hanya milik orang-orang yang berkesempatan kuliah ke luar negeri. Setiap orang berhak memiliki pencapaiannya masing-masing, ketika ia mampu melakukan upaya paling optimal, meski tak seorangpun memuji itu sebagai sebuah pencapaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar