Rabu, 11 November 2015

Statistik Kerap Dikritik (Sebuah Awal Nge-Blog)



 Image result for statistik
gambar dicomot dari sini

Bagiku menulis blog itu sama halnya menulis diary. Mungkin suatu saat kelak, aku akan membuka lembar demi lembar diary itu lagi, hanya sekedar untuk mengenang apa-apa yang telah kulalui. Ada cerita manis yang membuat tersenyum.  Ada cerita getir yang kuharap waktu mampu membuatku menjadi tersenyum ketika mengenangnya. Aku ingin merasakan kembali suasana, getaran di hati dan semua yang kurasa ketika mengalami semua itu. Pasti ada rasa rindu, meski waktu selamanya tak pernah berputar mundur. Pasti ada sesuatu yang bisa kujadikan cermin diri, untuk menjadi manusia yang lebih baik, setidaknya untuk diriku sendiri dan orang-orang terdekat.

Hal-hal yang akan kutulis dalam blog ini bersifat random. Mungkin pengalaman dalam keseharian, pekerjaan atau apa saja lah yaa... Sah-sah saja kan? :) 

Nah sebagai tulisan pertama, masih jetlag mau menulis apa. Jadilah saya teringat pada sebuah tulisan yang pernah saya buat di tahun 2012 dan diarsipkan oleh Facebook. Terima kasih Facebook! Sebagai pembuka bolehlah ya tulisan itu saya share disini. Sebagai permulaan yang baik kan? :) hehehe

==========================================================================
Statistik Kerap Dikritik

Pada tahun 1085, Denmark menginvasi Inggris. William, raja Inggris, berpikir bahwa ia harus memiliki data yang menerangkan berapa banyak wajib pajak di Inggris guna membiayai tentara dan keperluan perang. Maka dari sinilah sebuah buku yang sangat populer, Domesday, lahir. Sebuah 'sensus' wajib pajak sekaligus wajib militer. Artinya sudah sejak abad ke-10, pengumpulan data dirasa perlu untuk menjelaskan suatu keadaan, untuk digunakan sebagai dasar pijakan yang melahirkan kebijakan.

Data berasal dari bahasa yunani yaitu 'datum', yang berarti fakta. Maka data adalah fakta yang di'angka'kan. Karena itu ia berpotensi menjadi produk yang strategis, sebab fakta adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal.

Statistik berasal dari kata 'state' yang berarti negara. Arti ini seolah-olah menerangkan bahwa ilmu statistika pada dasarnya adalah 'negara' itu sendiri. Ia negara yang di'angka'kan. Pada perkembangan selanjutnya, statistik merujuk sebagai hasil dari survei untuk menduga parameter yang merupakan hasil sensus. Ia estimator. Ia hanya menduga, mendekati, bukan parameter itu sendiri. Karenanya ia mengandung error, mengandung sesuatu yang masih dikatakan sah jika salah. Tetapi tentu saja, suatu estimator harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan sebagai estimator yang layak digunakan.

Statistik dibangun karena tidak semua data dapat dikumpulkan melalui sensus lengkap. Sensus lengkap memang lebih akurat dibandingkan survei sebab ia hanya akan mengandung, dalam bahasa statistik, non sampling error. Sementara survei, disamping non sampling error juga mengandung sampling error, sehingga total errornya otomatis akan lebih besar. Akan tetapi sensus membutuhkan sumber daya yang besar pula, karena itu ia tidak efisien.

Di setiap negara, statistik dibangun, dan selanjutnya diperbandingkan. Maka dari statistik lah kita tahu perbandingan kondisi sosial ekonomi antara satu daerah dengan daerah yang lain, antara satu negara dengan negara yang lain. Dari situlah kebijakan dirumuskan lalu diimplementasikan. Kebijakan yang tepat sasaran pastilah lahir dari data yang akurat.

Membangun statistik di negara berkembang bukanlah perkara mudah karena belum adanya basis data yang kuat. Sebagai contoh data pendapatan di negara maju dengan mudahnya dapat kita peroleh dari lembaga keuangan terkait, tetapi tidak demikian halnya dengan negara berkembang. Di negara berkembang, statistik lebih banyak dibangun dari perspektif responden, dalam hal ini rumah tangga, jawaban yang bisa saja menjadi bias.

Seringkali kita dengar keraguan masyarakat terhadap data statistik. Terlebih untuk data yang sensitif. Sensitif dalam artian ia dapat menjadi ukuran keberhasilan atau ketidakberhasilan seseorang atau sekelompok orang. Masyarakat kadang kala menyangkal hanya dari 'penglihatan'nya semata tanpa pengetahuan sama sekali atau minimal keinginan untuk mengetahui. Statistika itu ilmu. Ada suatu metodologi yang mesti dipelajari, minimal diketahui, karena sekelumit proses untuk mendapatkan data itu tidak bisa serta merta diabaikan. Dan sebuah metodologi pasti mengandung keterbatasan dan kelemahan, tetapi kemudian ia terpilih digunakan karena dianggap paling laik dibanding yang lain, setidaknya hingga saat itu. Kemudian metodologi tadi mengundang untuk terus dimukhtahirkan mengikuti dinamika yang terjadi di masyarakat.

Statistika adalah ilmu, ia bukan ilmu pasti sehingga dinamis terhadap perubahan. Ia bisa berubah setelah dirasa tidak lagi mampu mewakili kenyataan, setelah dirasa ada metodologi lain yang setelah dikaji, diuji coba, memiliki keunggulan yang lebih.

Seringkali kejadian yang lain adalah masyarakat tidak bisa membaca data statistik. Angka tanpa interpretasi memang sesuatu yang rentan salah kaprah. Dalam membaca datapun, ada konsep-konsep yang harus dipahami, semacam rambu-rambu yang akan menuntun pembaca kepada persepsi yang benar, sehingga menerangkan persepsi yang sebelumnya kabur sebab hanya didasarkan dari anggapan dan pengetahuan pembaca semata, yang memiliki kemungkinan untuk keliru. Data statistik memang tak mampu ditampik rentan terhadap kepentingan pihak tertentu, karena itulah ia harus dikuasai oleh lembaga yang independen. Ia harus berdiri sebagai sesuatu yang apa adanya, ia terbuka untuk dikritik karena memang lahir dari metodologi yang tidak sempurna. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar