gambar dicomot dari sini
Masih terbayang betapa
sulitnya menjadi seorang perempuan single. Beberapa laki-laki pernah
mendekatiku, tetapi entahlah tidak ada satupun yang sreg di hati. PDKT itupun
serasa berubah menjadi terror. Aku tidak nyaman. Kurasa setiap perempuan single
yang hidup seorang diri jauh dari keluarga juga merasakan hal seperti ini.
Barangkali para lelaki itu hanya tertarik dengan statusku yang seorang PNS.
Barangkali mereka hanya iseng-iseng saja. Tetapi lama-lama aku merasa risih,
merasa terganggu bahkan merasa diterror.
Selain itu, masih banyak lagi kerisauan menjadi perempuan
single. Pertanyaan, “kapan nikah?”, bisa dianalogikan bagai biji kedondong yang
nyangkut di tenggorokan, membuat tersedak. Belum lagi sindiran-sindiran dari
orang-orang sekitar yang mungkin bagi mereka itu hanya sekedar lelucon belaka,
tetapi bagi seorang perempuan single bisa jadi itu malapetaka. Seakan-akan
belum menikah adalah sebuah kesalahan, sebuah aib. Ada juga orang-orang yang
melihat dengan tatapan kasihan, seakan-akan orang-orang yang belum menikah pernah membuat dosa besar
hingga Tuhan murka dan mempersulit jodohnya. Banyak yang seolah lupa bahwa
jodoh adalah rahasiaNya, takdirNya.
Aku tipikal perempuan konservatif (istilah apa ini?). Bagiku
cinta itu hadir tanpa perlu dipaksakan, lewat dikenalkan misalnya. Tapi bukan
berarti lho aku menganggap orang yang bertemu jodohnya lewat perkenalan itu gak
baik. Aku tetap menghargai itu sebagai salah satu usaha mendapatkan jodoh,
bahkan itu berupa cara yang menunjukkan itikad baik, hanya saja cara ini tidak
cocok untukku, karena seperti yang kubilang tadi, aku konservatif?!
Tahun demi tahun kulalui sendiri. Di Kota Prabumulih. Jarak
tempuhnya sekitar 2 jam dari rumah orang tuaku. Aku pulang hampir di setiap
akhir pekan. Begitulah hidup kulalui, bekerja senin sampai jumat lalu jumat
sore pulang ke rumah orang tua. Lama kelamaan aku memang mulai merasa jenuh.
Rasanya tidak ada hal lain yang bisa kulakukan untuk mengembangkan diri.
Kemampuan akademisku dari tahun ke tahun semakin menurun karena setiap hari aku
hanya bergelut dengan hal yang itu-itu saja. Awal-awal bekerja, aku memang
masih sangat antusias bekerja, apalagi jika mengikuti pelatihan ini itu di
ibukota Propinsi, sekaligus momen itu menjadi kesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawan. Tetapi lama
kelamaan, semangat kerjaku mulai menurun. Antusiasme mengikuti pelatihan ini itupun mulai meredup. Terlebih satu demi satu kawan
mulai memberi undangan pernikahan, itu rasanya seperti tak bakal lagi ada acara seru-seruan usai pelatihan, itu artinya aku seperti kehilangan teman main, hehe.
Aku tidak iri melihat kebahagiaan teman-temanku, aku turut
bahagia. Hanya saja aku mulai bertanya, kapan giliranku? Terus terang siapa sih
yang tidak ingin menikah, menemukan belahan jiwanya? Apalagi aku, yang bahkan
pacarpun tak punya (huhu). Aku bahkan sempat berpikir, apa mungkin Tuhan lupa
menuliskan jodoh untukku? Sebetulnya aku tipikal orang yang tidak terlalu
memusingkan tentang jodoh karena aku percaya jodoh akan datang di waktunya
sendiri. Tetapi ketika usia semakin beranjak mendekati kepala 3 dan teman-teman
dekat satu demi satu mulai duduk di pelaminan, perasaan cemas itupun terus terang terkadang
hinggap. Tetapi aku memang bukan juga tipikal orang yang akan memaksakan diri
untuk jatuh cinta kepada siapa saja yang datang dalam kehidupanku karena
terdesak faktor U, alias umur. Aku memilih untuk hidup sendiri ketimbang harus
terpaksa menikah. Itu prinsipku!
Aku mulai berkhayal tentang hidup sendiri. Barangkali aku
akan menyibukkan diri dengan kuliah hingga S3 untuk menutupi kesepianku yang
sesungguhnya. Barangkali aku akan menjadi seorang workaholic untuk mengalihkan
rasa kesepianku. Ah, sebegini putus asanya kah aku ini? Yang jelas bagiku hidup ini
indah dan patut kita syukuri. Memang selalu ada saja alasan yang mampu membuat
kita tidak bersyukur, tetapi jauh jauh lebih banyak alasan yang seharusnya
membuat kita tak henti-hentinya bersyukur. Selalu melihat ke bawah adalah kunci
untuk bersyukur. Saat itu setidaknya aku sudah punya pekerjaan tetap dengan
penghasilan yang sangat cukup. Sementara di luar sana, ribuan orang masih harus
pusing mencari pekerjaan. Kemudian keluarga, kesehatan, dan semua hal lain yang
membuat kita akan terlihat tak tahu diri jika masih mau mengeluh.
Usiaku memang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Undangan pernikahan kawan-kawanpun semakin banyak kuterima. Rasa cemas,
kesepianpun terkadang hinggap. Tetapi aku percaya aku berhak bahagia. Dan
kebahagiaan bukan hanya milik orang-orang yang telah menikah. Aku berhak
bahagia. Aku berhak bahagia. Dan aku akan menjalani hidup ini dengan caraku
sendiri, bersyukur atas begitu banyak nikmatNya. Dan mulai memberi arti bagi
hidupku, setidaknya untuk diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar