Ketika ada pembukaan pendaftaran beasiswa S2 Tugas Belajar (TB) untuk
universitas-universitas Dalam Negeri, aku tertarik. Tetapi sayang dalam daftar
universitas itu, tidak ada UGM, universitas yang entah kenapa seakan menjadi
obsesiku saat itu. Aku suka Jogja. Aku jatuh cinta pada kota itu. Daftar
univeristas yang ada hanya: ITB, ITS dan Unpad. Berhubung dua orang senior di
tempat kerjaku telah memilih Unpad, sebagai junior yang tahu diri akupun
mengalah. Sementara untuk ITB, jurusannya tidak sesuai dengan bidang
keilmuanku. Sempat bimbang apakah akan terus maju untuk mendaftar beasiswa atau
tidak. Aku tak terlalu antusias hidup di Surabaya, kelihatannya kota itu
terlalu jauh dan panas. Tetapi kesempatan sudah di depan mata, apakah jika aku
tunda setahun lagi, aku pasti akan diterima? Tentu saja belum tentu! Maka
akupun memilih mendaftar, setidaknya mencoba peruntungan.
Ibuku tak setuju ketika kuutarakan niatku untuk melanjutkan
pendidikan S2. Berbagai alasan ia kemukan.
“Lihat itu ada adiknya tetangga kita, sudah S2, malah
semakin susah dapat jodoh. Laki-laki malah takut kalau perempuannya sudah
tinggi begitu.”
Atau, “Sudahlah menikah dulu, nanti semakin susah dapat
jodoh.”
Hla, menikah, mau menikah dengan siapa?
Intinya keberatan ibuku adalah perihal jodoh. Seolah-olah
pendidikan berbanding terbalik dengan kemudahan mendapat jodoh. Apakah jika aku
memutuskan tidak sekolah lagi, aku akan serta merta mendapatkan jodoh? Belum
tentu juga kan? Malahan yang ada, sudah tidak dapat-dapat jodoh, S2 pun belum,
padahal di tempat kerjaku banyak yang sudah menikah dan sudah S2 pula. Ya,
setidaknya aku mendapatkan salah satunya, hehe.
Tetapi aku tahu ibuku hanyalah orang tua biasa. Orang tua
mana yang tak galau melihat anak perempuannya yang telah semakin tua (kan gak
mungkin semakin muda) belum menikah. Aku paham kekhawatiran ibuku. Aku paham
itu. Maka kuceritakan saja tentang kakak tingkat yang malah mendapatkan
jodohnya ketika ia mengambil S2. Walau aku tahu, itu hanya sedikit kejadian. Tetapi
setidaknya, aku tidak mengarang-ngarang cerita. Saat itu, hati kecilku sungguh
tak yakin akan apa yang kuceritakan pada ibuku juga akan terjadi padaku. Tapi sudahlah, aku tak punya argumen lain selain
itu. Ah, jangan-jangan nanti ibuku semakin kecewa, ketika aku pulang ke kota ini, setelah menyelesaikan S2, juga masih seorang diri. Ah, sudahlah. Aku tak
punya pilihan.
Argumen itu ternyata pelan-pelan mampu mengubah pikiran
ibuku. Saat itu aku berpikir, tinggal bagaimana mencari argumen lain ketika kelak
aku kembali ke kampung halaman masih juga sebagai jomblo. Hehe.
Dan berangkatlah aku ke Surabaya. Menjadi mahasiswa Magister
di ITS. Tanpa harapan apapun. Selain aku ingin belajar disini, juga break dari
rutinitas kantor yang sungguh maaf harus kukatakan, telah membuat aku berada
pada titik jenuh.
Tetapi hidup memang adalah takdirNya. Ketika Ia berkehendak,
maka apapun akan terjadi. Dan ternyata di kota inilah, Ia mempertemukan aku
dengan jodohku, dengan belahan jiwaku yang telah lama kunantikan. Subhanallah,
sungguh takdirMu selalu indah ya Allah. Terima kasih, terima kasih banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar