Bagiku menulis blog itu sama halnya menulis diary. Mungkin
suatu saat kelak, aku akan membuka lembar demi lembar diary itu lagi, hanya
sekedar untuk mengenang apa-apa yang telah kulalui. Ada cerita manis yang
membuat tersenyum. Ada cerita getir yang
kuharap waktu mampu membuatku menjadi tersenyum ketika mengenangnya. Aku ingin
merasakan kembali suasana, getaran di hati dan semua yang kurasa ketika mengalami
semua itu. Pasti ada rasa rindu, meski waktu selamanya tak pernah berputar
mundur. Pasti ada sesuatu yang bisa kujadikan cermin diri, untuk menjadi
manusia yang lebih baik, setidaknya untuk diriku sendiri dan orang-orang
terdekat.
Hal-hal yang akan kutulis dalam blog ini bersifat random. Mungkin pengalaman dalam keseharian, pekerjaan atau apa saja lah yaa... Sah-sah saja kan? :)
Nah sebagai tulisan pertama, masih jetlag mau menulis apa. Jadilah saya teringat pada sebuah tulisan yang pernah saya buat di tahun 2012 dan diarsipkan oleh Facebook. Terima kasih Facebook! Sebagai pembuka bolehlah ya tulisan itu saya share disini. Sebagai permulaan yang baik kan? :) hehehe
==========================================================================
Statistik Kerap Dikritik
Pada tahun 1085, Denmark menginvasi Inggris. William, raja Inggris,
berpikir bahwa ia harus memiliki data yang menerangkan berapa banyak
wajib pajak di Inggris guna membiayai tentara dan keperluan perang. Maka
dari sinilah sebuah buku yang sangat populer, Domesday, lahir. Sebuah
'sensus' wajib pajak sekaligus wajib militer. Artinya sudah sejak abad
ke-10, pengumpulan data dirasa perlu untuk menjelaskan suatu keadaan,
untuk digunakan sebagai dasar pijakan yang melahirkan kebijakan.
Data berasal dari bahasa yunani yaitu 'datum', yang berarti fakta.
Maka data adalah fakta yang di'angka'kan. Karena itu ia berpotensi
menjadi produk yang strategis, sebab fakta adalah sesuatu yang tidak
bisa disangkal.
Statistik berasal dari kata 'state' yang berarti negara. Arti ini
seolah-olah menerangkan bahwa ilmu statistika pada dasarnya adalah
'negara' itu sendiri. Ia negara yang di'angka'kan. Pada perkembangan
selanjutnya, statistik merujuk sebagai hasil dari survei untuk menduga
parameter yang merupakan hasil sensus. Ia estimator. Ia hanya menduga,
mendekati, bukan parameter itu sendiri. Karenanya ia mengandung error,
mengandung sesuatu yang masih dikatakan sah jika salah. Tetapi tentu
saja, suatu estimator harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bisa
dikatakan sebagai estimator yang layak digunakan.
Statistik dibangun karena tidak semua data dapat dikumpulkan melalui
sensus lengkap. Sensus lengkap memang lebih akurat dibandingkan survei
sebab ia hanya akan mengandung, dalam bahasa statistik, non sampling
error. Sementara survei, disamping non sampling error juga mengandung
sampling error, sehingga total errornya otomatis akan lebih besar. Akan
tetapi sensus membutuhkan sumber daya yang besar pula, karena itu ia
tidak efisien.
Di setiap negara, statistik dibangun, dan selanjutnya
diperbandingkan. Maka dari statistik lah kita tahu perbandingan kondisi
sosial ekonomi antara satu daerah dengan daerah yang lain, antara satu
negara dengan negara yang lain. Dari situlah kebijakan dirumuskan lalu
diimplementasikan. Kebijakan yang tepat sasaran pastilah lahir dari data
yang akurat.
Membangun statistik di negara berkembang bukanlah perkara mudah
karena belum adanya basis data yang kuat. Sebagai contoh data pendapatan
di negara maju dengan mudahnya dapat kita peroleh dari lembaga keuangan
terkait, tetapi tidak demikian halnya dengan negara berkembang. Di
negara berkembang, statistik lebih banyak dibangun dari perspektif
responden, dalam hal ini rumah tangga, jawaban yang bisa saja menjadi
bias.
Seringkali kita dengar keraguan masyarakat terhadap data statistik.
Terlebih untuk data yang sensitif. Sensitif dalam artian ia dapat
menjadi ukuran keberhasilan atau ketidakberhasilan seseorang atau
sekelompok orang. Masyarakat kadang kala menyangkal hanya dari
'penglihatan'nya semata tanpa pengetahuan sama sekali atau minimal
keinginan untuk mengetahui. Statistika itu ilmu. Ada suatu metodologi
yang mesti dipelajari, minimal diketahui, karena sekelumit proses untuk
mendapatkan data itu tidak bisa serta merta diabaikan. Dan sebuah
metodologi pasti mengandung keterbatasan dan kelemahan, tetapi kemudian
ia terpilih digunakan karena dianggap paling laik dibanding yang lain,
setidaknya hingga saat itu. Kemudian metodologi tadi mengundang untuk
terus dimukhtahirkan mengikuti dinamika yang terjadi di masyarakat.
Statistika adalah ilmu, ia bukan ilmu pasti sehingga dinamis
terhadap perubahan. Ia bisa berubah setelah dirasa tidak lagi mampu
mewakili kenyataan, setelah dirasa ada metodologi lain yang setelah
dikaji, diuji coba, memiliki keunggulan yang lebih.
Seringkali kejadian yang lain adalah masyarakat tidak bisa membaca
data statistik. Angka tanpa interpretasi memang sesuatu yang rentan
salah kaprah. Dalam membaca datapun, ada konsep-konsep yang harus
dipahami, semacam rambu-rambu yang akan menuntun pembaca kepada persepsi
yang benar, sehingga menerangkan persepsi yang sebelumnya kabur sebab
hanya didasarkan dari anggapan dan pengetahuan pembaca semata, yang
memiliki kemungkinan untuk keliru. Data statistik memang tak mampu
ditampik rentan terhadap kepentingan pihak tertentu, karena itulah ia
harus dikuasai oleh lembaga yang independen. Ia harus berdiri sebagai
sesuatu yang apa adanya, ia terbuka untuk dikritik karena memang lahir
dari metodologi yang tidak sempurna.